Rabu, 12 Januari 2011

pesawat tempur

Pesawat tempur adalah pesawat militer yang dirancang untuk menyerang pesawat lain di udara. Berbeda dengan pesawat pengebom, yang dirancang untuk menyerang target di permukaan. Pesawat tempur relatif lebih kecil, cepat, dan lincah. Pesawat tempur awalnya dikembangkan pada Perang Dunia I untuk menghadapi pesawat pengebom dan balon udara yang mulai lazim digunakan untuk melakukan serangan darat dan pengintaian. Pesawat tempur pertama awalnya berupa pesawat sayap ganda kayu yang diberi senapan mesin ringan. Pada Perang Dunia II, pesawat tempur lebih banyak dibuat dari logam, bersayap tunggal, dan menggunakan senapan mesin yang tertanam pada sayap. Setelah Perang Dunia II, mesin turbojet mulai menggantikan mesin piston, dan peluru kendali mulai digunakan untuk menggantikan senapan mesin sebagai senjata utama.

Klasifikasi pesawat tempur dibuat berdasarkan generasi. Penggunaan generasi ini awalnya digunakan petinggi pertahanan di Rusia, yang menyebut F-22 Raptor Amerika Serikat sebagai pesawat tempur "generasi kelima".

Pesawat tempur adalah pesawat yang digunakan untuk perang di udara. Umumnya pesawat tempur berbentuk ramping, dapat bergerak lincah, membawa canon (senapan mesin) serta rudal dan bom, berkecepatan tinggi, dilengkapi dengan perlengkapan avionik yang lebih banyak daripada pesawat sipil/penumpang seperti radar yang mampu mendeteksi lawan dalam jarak jauh serta mengunci sasaran lawan. Terlebih lagi dilengkapi dengan peralatan pengecoh dan pengacau radar, sampai berkemampuan "siluman"

sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Pesawat_tempur

HARDWARE

Perangkat keras komputer (Inggris: hardware) adalah semua bagian fisik komputer, dan dibedakan dengan data yang berada di dalamnya atau yang beroperasi di dalamnya, dan dibedakan dengan perangkat lunak (software) yang menyediakan instruksi untuk perangkat keras dalam menyelesaikan tugasnya.

Batasan antara perangkat keras dan perangkat lunak akan sedikit buram kalau kita berbicara mengenai firmware, karena firmware ini adalah perangkat lunak yang "dibuat" ke dalam perangkat keras. Firmware ini merupakan wilayah dari bidang ilmu komputer dan teknik komputer, yang jarang dikenal oleh pengguna umum.

Komputer pada umumnya adalah komputer pribadi, (PC) dalam bentuk desktop atau menara kotak yang terdiri dari bagian berikut:

* Papan sistem/papan induk yang merupakan tempat CPU, memori dan bagian lainnya, dan memiliki slot untuk kartu tambahan.
o RAM - tempat penyimpanan data jangka pendek, sehingga komputer tidak perlu selalu mengakses hard disk untuk mencari data. Jumlah RAM yang lebih besar akan membantu kecepatan PC
o Buses:
+ Bus PCI
+ Bus ISA
+ USB
+ AGP
o ROM (Read Only Memory) di mana firmware diletakkan
o CPU (Central Processing Unit) sebagai otak dan bagian utama komputer
* Power supply - sebuah kotak yang merupakan tempat transformer, kontrol voltase dan kipas
* Pengontrol penyimpanan, dari jenis IDE, SCSI atau lainnya, yang mengontrol hard disk, Floppy disk, CD-ROM dan drive lainnya; kontroler ini terletak di papan induk (atas-papan) atau di kartu tambahan
* Pengontrol penampilan video yang memproduksi output untuk komputer display
* Pengontrol komputer bus (paralel, serial, USB, Firewire) untuk menyambung komputer dengan alat tambahan luar lainnya seperti printer atau scanner
* Beberapa jenis penyimpanan komputer:
o CD - tipe paling umum media yang dapat dilepas, murah tapi mudah rusak.
+ CD-ROM
+ CD-RW
+ CD-R
o DVD
+ DVD-ROM
+ DVD-RW
+ DVD-R
o Floppy disk
* Penyimpanan dalam - menyimpan data dalam komputer untuk penggunaan jangka panjang.
o Hard disk - untuk penyimpanan data jangka panjang
o Disk array controller
* Kartu suara - menerjemahkan signal dari papan sistem ke bahasa yang dapat dimengerti oleh speaker, dan memiliki terminal untuk mencolok kabel suara speaker.
* Jaringan komputer - untuk menghubungkan komputer ke internet dan/atau komputer lainnya.
o Modem - media penyambung ke koneksi internet.
o Kartu network - untuk internet DSL/kabel, dan/atau menghubungkan ke komputer lain.
* Alat lainnya.

Sebagai tambahan, perangkat keras dapat memasukan komponen luar lainnya. Di bawah ini merupakan komponen standar atau yang umum digunakan.

* Input
o Keyboard
o Alat penunjuk
+ Mouse
+ Trackball
o Joystick
o Gamepad
o Scanner gambar
o Webcam
o Tablet Grafis
* Output
o Printer
o Speaker
o Monitor
* Jaringan/Networking
o Modem
o kartu network

[sunting] Lihat pula

* Arsitektur komputer
* Perangkat lunak
* legacy system
* Open hardware
* optical computer
* DNA computer
* Sejarah perangkat keras komputer
* Asal istilah komputer

sumber : wikipedia

FUTSAL

Futsal adalah permainan bola yang dimainkan oleh dua tim, yang masing-masing beranggotakan lima orang. Tujuannya adalah memasukkan bola ke gawang lawan, dengan memanipulasi bola dengan kaki. Selain lima pemain utama, setiap regu juga diizinkan memiliki pemain cadangan. Tidak seperti permainan sepak bola dalam ruangan lainnya, lapangan futsal dibatasi garis, bukan net atau papan.

Futsal turut juga dikenali dengan berbagai nama lain. Istilah "futsal" adalah istilah internasionalnya, berasal dari kata Spanyol atau Portugis, futbol dan sala.
Daftar isi
[sembunyikan]

* 1 Sejarah
* 2 Peraturan
o 2.1 Lapangan permainan
o 2.2 Bola
o 2.3 Jumlah pemain (per tim)
o 2.4 Perlengkapan pemain
o 2.5 Lama permainan
* 3 Kejuaraan futsal terkemuka
o 3.1 Piala Dunia Futsal FIFA
o 3.2 Piala Dunia Futsal AMF
* 4 Liga Futsal Indonesia
* 5 Pranala luar

[sunting] Sejarah

Futsal diciptakan di Montevideo, Uruguay pada tahun 1930, oleh Juan Carlos Ceriani. Keunikan futsal mendapat perhatian di seluruh Amerika Selatan, terutamanya di Brasil. Ketrampilan yang dikembangkan dalam permainan ini dapat dilihat dalam gaya terkenal dunia yang diperlihatkan pemain-pemain Brasil di luar ruangan, pada lapangan berukuran biasa. Pele, bintang terkenal Brasil, contohnya, mengembangkan bakatnya di futsal. Sementara Brasil terus menjadi pusat futsal dunia, permainan ini sekarang dimainkan di bawah perlindungan Fédération Internationale de Football Association di seluruh dunia, dari Eropa hingga Amerika Tengah dan Amerika Utara serta Afrika, Asia, dan Oseania.

Pertandingan internasional pertama diadakan pada tahun 1965, Paraguay menjuarai Piala Amerika Selatan pertama. Enam perebutan Piala Amerika Selatan berikutnya diselenggarakan hingga tahun 1979, dan semua gelaran juara disapu habis Brasil. Brasil meneruskan dominasinya dengan meraih Piala Pan Amerika pertama tahun 1980 dan memenangkannya lagi pada perebutan berikutnya tahun pd 1984.

Kejuaraan Dunia Futsal pertama diadakan atas bantuan FIFUSA (sebelum anggota-anggotanya bergabung dengan FIFA pada tahun 1989) di Sao Paulo, Brasil, tahun 1982, berakhir dengan Brasil di posisi pertama. Brasil mengulangi kemenangannya di Kejuaraan Dunia kedua tahun 1985 di Spanyol, tetapi menderita kekalahan dari Paraguay dalam Kejuaraan Dunia ketiga tahun 1988 di Australia.

Pertandingan futsal internasional pertama diadakan di AS pada Desember 1985, di Universitas Negeri Sonoma di Rohnert Park, California. Futsal The Rule of The Game
[sunting] Peraturan
[sunting] Lapangan permainan

1. Ukuran: panjang 25-42 m x lebar 15-25 m
2. Garis batas: garis selebar 8 cm, yakni garis sentuh di sisi, garis gawang di ujung-ujung, dan garis melintang tengah lapangan; 3 m lingkaran tengah; tak ada tembok penghalang atau papan
3. Daerah penalti: busur berukuran 6 m dari setiap pos
4. Garis penalti: 6 m dari titik tengah garis gawang
5. Garis penalti kedua: 12 m dari titik tengah garis gawang
6. Zona pergantian: daerah 6 m (3 m pada setiap sisi garis tengah lapangan) pada sisi tribun dari pelemparan
7. Gawang: tinggi 2 m x lebar 3 m
8. Permukaan daerah pelemparan: halus, rata, dan tak abrasif

[sunting] Bola

1. Ukuran: 4
2. Keliling: 62-64 cm
3. Berat: 390-430 gram
4. Lambungan: 55-65 cm pada pantulan pertama
5. Bahan: kulit atau bahan yang cocok lainnya (yaitu, tak berbahaya)

[sunting] Jumlah pemain (per tim)

1. Jumlah pemain maksimal untuk memulai pertandingan: 5, salah satunya penjaga gawang
2. Jumlah pemain minimal untuk mengakhiri pertandingan: 2
3. Jumlah pemain cadangan maksimal: 7
4. Jumlah wasit: 2
5. Jumlah hakim garis: 0
6. Batas jumlah pergantian pemain: tak terbatas
7. Metode pergantian: "pergantian melayang" (semua pemain kecuali penjaga gawang boleh memasuki dan meninggalkan lapangan kapan saja; pergantian penjaga gawang hanya dapat dilakukan jika bola tak sedang dimainkan dan dengan persetujuan wasit)

[sunting] Perlengkapan pemain

1. Kaos bernomor
2. Celana pendek
3. Kaos kaki
4. Pelindung lutut
5. Alas kaki bersolkan karet

[sunting] Lama permainan

1. Lama normal: 2x20 menit
2. Lama istiharat: 10 menit
3. Lama perpanjangan waktu: 2x10 menit
4. Ada adu penalti jika jumlah gol kedua tim seri saat perpanjangan waktu selesai
5. Time-out: 1 per tim per babak; tak ada dalam waktu tambahan
6. Waktu pergantian babak: maksimal 10 menit

[sunting] Kejuaraan futsal terkemuka
[sunting] Piala Dunia Futsal FIFA

* 1989 (di Rotterdam, Belanda): dimenangkan Brasil
* 1992 (di Hong Kong): dimenangkan Brasil
* 1996 (di Barcelona, Spanyol): dimenangkan Brasil
* 2000 (di Guatemala): dimenangkan Spanyol
* 2004 (di Taiwan): dimenangkan Spanyol.
* 2008 (di Brasil): dimenangkan Brasil.

[sunting] Piala Dunia Futsal AMF

* 1982 (di Sao Paulo, Brazil): dimenangkan Brazil
* 1985 (di Madrid, Spanyol): dimenangkan Brazil
* 1988 (di Melbourne, Australia): dimenangkan Paraguay
* 1991 (di Milan, Italia): dimenangkan Portugal
* 1994 (di Argentina): dimenangkan Argentina
* 1997 (di Meksiko): dimenangkan Venezuela
* 2000 (di La Paz, Bolivia): dimenangkan Kolombia
* 2003 (di Paraguay): dimenangkan Paraguay.

[sunting] Liga Futsal Indonesia

* Liga Futsal Nasional Indonesia: Liga Futsal Profesional di Indonesia

sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Futsal

Stop Dreaming Start Action

Stop Dreaming Start Action saya masukkan saja sebagai Kata Mutiara karena memang maknanya sangat berharga yaitu agar kita tidak hanya bermimpi untuk mendapatkan sesuatu melainkan perlu berusaha dengan sungguh-sungguh, dengan cara yang baik, rajin, ulet, tekun dan tetap gembira apapun hasilnya. Anda setuju kan kalau uangkapan Stop Dreaming Start Action ini merupakan kata bijak?. Beberapa orang mungkin menterjemahkan Stop Dreaming sebagai berhentilah mempunyai impian. Kalau diartikan seperti itu tentu saja maknanya menjadi berbeda, karena sesungguhnya Power of Dream atau Kekuatan Impian adalah luar biasa. Yang pasti untuk benar-benar berhasil kita perlu NOT only dreaming buat Start a real Action.

Jadi ingat saja kata mutiara satu ini jika suatu ketika Anda punya keinginan baru atau keinginan lama yang belum terwujudkan. Anda dapat memperkuat dream Anda tersebut dengan cara membayangkan yang enak-enak jika Anda berhasil mendapatkannya, dan membayangkan betapa susahnya Anda jika hal itu tidak tercapai. Tandanya dream atau impian Anda tersebut sudah sangat mendominasi anda maka anda akan tergerak untuk benar-benar MENGUSAHAKANnya atau Start Action. Itulah maka dari kata mutiara Stop Dreaming Start Action menurut saya.

Sebenarnya harus saya akui bahwa kata mutiara atau kata bijak yang sering saya baca dari buku-buku atau yang diucapkan orang-orang, termasuk juga yang bahkan sering dikutip teman-teman menjadi Status Facebook mereka, lebih sering hanya sampai di level pengetahuan saja. Mungkin juga Anda sering juga mendengar kata bijak yang sangat sederhana dan memaknainya sebatas itu, seperti saya tadi. hehe.. Misalnya ketika mendengar kata bijak Rajin Pangkal Pandai, sepertinya sudah menjadi biasa, bukan senilai mutiara lagi. Lalu hanya sedikit diantara kita yang benar-benar RAJIN dalam arti yang luas. Benar kan?. Semoga kata mutiara yang satu ini Stop Dreaming Start Action dapat melekat lebih kuat dan sanggup benar-benar kita praktekkan.

Semoga Anda setuju dengan uraian singkat diatas, dan mulai sekarang kita kumandangkan dan praktekkan Stop Dreaming Start Action ini jauh lebih kuat jauh lebih sering.

Atau Anda punya pendapat lain tentang makna Stop Dreaming Start Action ini? Silahkan berkomentar.

sumber : http://katamutiara.net/stop-dreaming-start-action

Pengetahuan Adalah Kekuatan

Artinya banyak orang mencapai sukses dengan pengetahuan yang dimilikinya. Orang yang memiliki pengetahuan bisa mengelola sumber daya alam, menciptkan teknologi yang berguna untuk menusia dan sebagainya. Tentu pula pengetahuan saja tidaklah cukup sampai pengetahuan tersebut jatuh ke tangan seseorang yang sanggup mengubahnya menjadi kemampuan bertindak, take action. Sekedar pengetahuan saja masih belum lebih dari sedikit diatas mimpi. Karena itulah Stop Dreaming Start Action menjadi penting.

Kata bijak ini mengandung makna bahwa semakin tinggi pengetahuan seseorang maka semakin besar dan pengaruhnya, tentunya kata mutiara tentang Pengetahuan ini dimaksudkan untuk pengetahuan yang digunakan secara positif. Semoga kata bijak hari ini dapat memperkuat motivasi Anda untuk meningkatkan pengetahuan Anda dan menggunakannya untuk kebaika

sumber : http://katamutiara.net/pengetahuan-adalah-kekuatan

Selasa, 11 Januari 2011

Tugas Pokok Pendidikan Keagamaan

Tidak mudah memang mengapresiasisasi kembali dan menegaskan nilai-nilai fundamental yang diperlukan untuk kehidupan bersama antar berbagai umat beragama (juga antar etnis, budaya, ras dan kelompok). Menurut Amin Abdullah ada 3 (tiga) himpitan “identitas” yang sama-sama fundamental, yang sama-sama menggoda, yang sama-sama hendak dipertahankan oleh manusia baik sebagai pribadi maupun kelompok. Pertama adalah peneguhan identitas yang bersumber dari tuntutan loyalitas pada hubungan seseorang atau kelompok kepada Tuhan (the identity generated by one’s relation to God) yang dikonsolidasikan dan dikristalkan lewat sistem politik-keagamaan dan kedua, identitas yang bersumber pada pengalaman riil seseorang atau kelompok untuk memenuhi tuntutan loyalitas kepada kelompoknya sendiri. Kedua tuntutan peneguhan identitas seringkali berbenturan dan sulit dicari konsensus. Belum lagi, bagaimana seseorang dan lebih-lebih kelompok memenuhi tuntutan loyalitas kepada keduanya, namun pada saat yang sama seseorang atau kelompok harus pula mampu mensupport identitas ketiga, yakni mendukung nilai-nilai yang diperlukan untuk keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengatasi kedua loyalitas sebelumnya.[1]

Tugas pokok pendidikan keagamaan –seperti madrasah misalnya- adalah untuk melakukan pembaharuan dan penyegaran dari ”dalam” intern masing-masing kelompok pemeluk agama-agama itu sendiri. Kekuatan penggerak dari pendorong untuk melakukan pembaharuan dan penyegaran sebenarnya terletak dan terinspirasikan dari pengalaman pokok dari setiap kelompok agama yakni, Ajaran Sang Budha bagi para pemeluk agama Budha, Taurat bagi pemeluk Yahudi, Jalan Yesus bagi orang-orang Kristen dan Pesan Perdamaian dari al-Qur’an bagi pemeluk agama Islam. Demikian pula halnya yang terkait keragaman budaya dan etnisitas.

Sangatlah penting bagi pendidikan keagamaan (Religious Education) untuk berasumsi bahwa tugas internalnya adalah untuk memperkenalkan ”sistem tanggungjawab bersama” (system of responsibility) kepada generasi muda sesuai dengan panduan ajaran agama masing-masing. Ketika para pemeluk agama-agama mengenal dengan baik akar-akar fundamental kepercayaannya dan ketika mereka mengenal dengan baik akar-akar kebudayaan dan agamanya sendiri, maka mereka sesungguhnya telah membekali diri landasan dasar untuk dapat melakukan dialog (perjumpaan, perkenalan, perbincangan) dengan sungguh-sungguh dengan masyarakat atau komunitas lain, juga sistem budaya dan tata nilai di luar diri dan kelompoknya.[2]

Semua jenis pendidikan keagamaan (religious education) seharusnya dibekali dengan cara metode dan jalan baru yang lebih menekankan pada ”penghormatan”, dan ”penghargaan” kepada masyarakat dan pemeluk agama lain serta mengenal tata cara hidup dan nilai-nilai yang mereka jadikan sebagai panduan kehidupannya. Generasi muda hendaknya dipersiapkan untuk selalu siap hidup bersama orang, kelompok atau masyarakat pemeluk agama lain tanpa terlalu dibebani oleh beban-beban psikologis dan hambatan-hambatan sosial-kultural yang bersumber dari sikap buruk sangka (prejudice), tetapi lebih diarahkan pada kemampuan untuk mendengar dan saling belajar dari orang atau kelompok lain. Cara demikian akan membuka cara berpikir baru dan cara melihat persoalan kehidupan bersama dengan pandangan yang lebih segar dan terbuka.

Dialog antar iman atau antar kepercayaan hanya dapat menumbuhkan rasa ”saling percaya” (trust) jika para peserta dan patner dialog dapat memahami bahwa mereka tidak sedang dipaksa masuk dalam skenario dogmatik yang tidak saling terhubung antara satu kepercayaan dan lainnya. Ini berarti bahwa patner dialog harus mencoba belajar memahami berbagai jenis dan macam kepercayaan/iman dari sudut pandang orang yang memiliki kepercayaan itu sendiri dan secara empatik dan simpatik bersedia meneliti tradisi-tradisi keagamaan dan tulisan-tulisan yang dimiliki oleh teman partner dialog. Mereka secara bersama-sama harus menghormati dan menghargai perbedaan yang memang ada diantara mereka dan mencoba memahami alasan dan argumen mengapa ada perbedaan di antara mereka.

Selain itu pula harus disadari bahwa terkadang dimensi keagamaan atau religiosity dalam pendidikan seringkali di marginalkan dan diabaikan oleh para pendidik. Pendidikan umum, pendidikan tehnik, pendidikan humaniora, pendidikan sosial, pendidikan keterampilan, pendidikan biologi, matematika, kimia, fisika seringkali tidak peduli terhadap hal-hal yang terkait dengan isu keagamaan, karena “agama” dianggap berada di luar wilayah mereka. Bahkan ironisnya pendidikan agama yang diselenggarakan oleh kelompok agama “tertentu” (Particular religion) seringkali juga memarginalkan – untuk tidak menyebutnya “meremehkan” – realitas konkrit keberagamaan (Fundamental religiosity) yang dimiliki oleh kelompok lain, yang tidak seagama.

Fundamental religiosity ini seringkali diabaikan hanya semata-mata karena “mereka” berbeda agama dari agama yang kita miliki. Para pendidik lupa bahwa anak-anak dan generasi muda seharusnya dibekali, dilengkapi dan diberi “etos”, “nilai”, “keyakinan”, “kebutuhan” untuk hidup bersama (to live together) orang atau kelompok lain, dan diajari bagaimana menghormati teman sejawat manusia sebagai manusia, dilatih untuk mempunyai rasa tanggungjawab terhadap seluruh ciptaan yang hidup dan bernyawa, dilatih bagaimana mereka nantinya peka dan cepat tanggap terhadap hal-hal yang mengarah kepada kebencian, kekerasan dan seluruh perkembangan baru dan kecenderungan dalam kehidupan manusia yang mengancam kehidupan bersama.

Kemudian berikutnya jaringan kerjasama sosial dan sumber-sumber pendidikan yang sangat luas yang dimiliki oleh masyarakat agama dan budaya di Indonesia (dan juga masyarakat dunia) perlu dimobilisir untuk mempromosikan dan melipatgandakan upaya-upaya untuk pendidikan perdamaian. Masing-masing komunitas agama dan budaya secara sendiri-sendiri dapat mengambil inisiatif untuk mereview dan memperbaharui kembali pedoman umum (guideline), silabus, buku-buku teks dan bahan-bahan ajar yang lain, khususnya yang terkait langsung dengan bagaimana mereka menghadirkan, menjelaskan, menggambarkan, melukiskan, menerangkan tentang agama-agama yang dianut orang atau kelompok lain dan pandangan hidup (world views) mereka yang berbeda dari yang kita miliki.

Masyarakat beragama dapat mendorong terus dan mendukung diadakannya kontak dan kerjasama diantara para teolog (ahli-ahli agama), guru-guru agama dari berbagai kepercayaan dan keimanan serta kebudayaan yang berbeda serta secara terus menerus memperbaiki dan menyempurnakan sistem pelatihan dan pembelajaran calon-calon pendidik dan pengajar agama, para calon pimpinan agama (Klergi, ulama, kyai, da’i, missionaris, pekerja sosial, pimpinan organisasi) dalam hal yang terkait dengan “pengetahuan“ mereka tentang pandangan hidup (world views) dan sistem kepercayaan yang dianut oleh pemeluk lain, diluar agama yang dipeluknya sendiri.

Bagi negara-negara yang tidak memasukkan pengetahuan tentang agama-agama dunia (world religions) sebagai bagian dari silabi sistem pendidikan mereka dianjurkan untuk mengupayakan adanya wadah atau formula yang dapat memasukkan pengetahuan tentang agama-agama dunia dalam bagian kurikulum yang lebih luas sebagai subyek yang terpisah. Ceramah umum, penerjemahan buku, stadium general, diskusi, temu tokoh, bedah buku, seminar dapat dijadikan wadah atau ajang untuk memperkenalkan tradisi dan agama yang dimiliki oleh orang atau kelompok lain dibawah panduan pimpinan sekolah atau program studi.

Untuk mencapai perdamaian dunia bersama-sama dengan para ahli dari pemeluk agama lain, masyarakat beriman (beragama) dapat merancang metodologi khusus untuk para guru dan calon guru (dosen) dan juga untuk para pelajar (mahasiswa), untuk secara empati mampu meletakkan dirinya dalam tempat orang lain, melatih merasakan dirinya seperti yang dirasakan oleh orang lain. Berlatih bersama dengan sungguh-sungguh untuk dapat memahami persoalan-persoalan penting yang sepertinya tidak begitu dikenal oleh pengikut agama lain, untuk bergumul menyelesaikan dan mencari jalan keluar dari kerapuhan umat kemanusiaan yang sangat dirasakan oleh masing-masing pengikut agama, untuk menjawab persoalan-persoalan krusial yang dilontarkan oleh para pengamat dan orang-orang diluar diri kita.

sumber : google

Pendidikan Agama dalam Masyarakat Multikultur

Salah satu keunikan masyarakat Indonesia adalah keterikatannya pada simbol-simbol agama dan pada keyakinannya akan fungsi sosial agama dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan memberi rasa aman oleh kepastian dalam membuat pemaknaan atas peristiwa-peristiwa kehidupan bagi pemeluknya secara eksklusif. Keunikan ini sangat kentara ketika selalu ada kelompok dalam masyarakat yang senantiasa memberikan posisi bagi agama dalam ruang publik yang seharusnya dikonstruksi menjamin keleluasaan yang terbuka bagi semua ekspresi dan pemaknaannya.

Pendidikan agama yang masuk dalam ruang sekolah salah satu contoh kuatnya agama dalam mengambil posisi dalam ruang publik masyarakat Indonesia. Pendidikan agama dalam ruang -publik sekolah resmi hadir sejak 29 Desember 1945, ketika Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan membentuk Panitia Penyelidik Pendidikan yang berhasil merumuskan sistem dan kurikulum pendidikan Sekolah Menegah Pertama yang menggantikan Sekolah Menengah yang diciptakan Jepang. Pada masa itu pendidikan agama telah masuk dalam kurikulum SMP meskipun sebelumnya Ki Hajar Dewantara sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan telah menyampaikan sikapnya yang sangat pesimis dengan mengatakan,”agama dalam pengajaran di sekolah adalah soal lama dan terus-menerus menjadi persoalan yang sulit”. Kesulitan ini terutama karena bagi Ki Hajar “ada tuntutan supaya sifat keagamaan tadi diberi bentuk yaitu ‘pengajaran agama’, yang mana hakikat syariat agama diberi bentuk yang pasti dan tertentu” .

Faktor keyakinan masyarakat akan kekuatan agama dalam fungsi sosial yang antara lain didesakkan melalui tuntutan akan pendidikan agama di sekolah tidak saja didesakkan oleh kelompok penganut agama. Dalam perkembangannya, pendidikan agama di ruang sekolah juga dimaknai sebagai pendidikan untuk menghalau ‘pengaruh komunis’, ketika rezim Soeharto secara sistematis menggiring warganegara menggunakan ‘stempel’ agama yang dibatasi lima macam agama. Demikian hingga kini pendidikan agama turut mewarnai format hubungan agama dan negara yang masih dalam proses pencarian model yang paling mewadahi aspirasi masyarakat sekaligus diharapkan bisa mendukung pendewasaan dalam berbangsa dan bernegara.

Persoalannya, ketika pendidikan agama yang masing-masing sudah ‘tertentu’ harus masuk dalam ruang sekolah umum, pendidikan agama seperti apa yang bisa memungkinkan untuk mendukung peningkatan kesanggupan mengelola keragaman sebagaimana dibutuhkan dalam proses pendewasaan berbangsa dan bernegara?

Sudut Pandang dan Level Persoalan

Mengkaji masalah pendidikan agama dalam masyarakat multikultur, hal yang penting dilakukan adalah melihat masalah dari beragam sudut pandang. Satu sisi tidak bisa diabaikan adanya kelompok masyarakat yang senantiasa membutuhkan pegangan dalam ketidakpastian hidup yang mereka andaikan bisa terjawab oleh agama. Pengajaran agama oleh kelompok masyakat ini diyakini sebagai cara yang penting untuk membekali generasi muda dengan model hidup yang aman berdasarkan ajaran agama yang dianggap benar secara absolut.

Di sisi lain wacana keagamaan yang direproduksi dalam ruang-ruang kelas bagi generasi muda-peserta didik seringkali dirasa membosankan, karena hanya berisi hal-hal yang sudah tertentu dan pasti yang kadang harus dihafal, tetapi tidak menyentuh kegelisahan mereka sehari-hari. Wacana keagamaan yang mengandung pengandaian bahwa masyarakat adalah monokultur juga menghasilkan sikap yang gamang, ambigu bahkan tidak toleran dalam menghadapi perbedaan.

Para guru agama yang penuh dedikasi kebanyakan berfikir dan berbicara dengan referensi dunianya dan para siswa sudah mempunyai referensi pengalaman hidup yang berbeda. Ada sedikit guru agama yang mau berdialog dalam perbedaan dunia mereka dan dunia generasi muda, tetapi lebih banyak yang secara tidak sadar, guru agama -sebagaimana guru-guru pada umumnya–menempatkan diri sebagai penguasa kelas yang menganggap diri mempunyai otoritas penuh atas kebenaran yang senantiasa dibawakan dengan metode yang monoton.
Dalam pendidikan agama di sekolah sering terjadi kebuntuan komunikasi antara guru dan peserta didiknya. Mulai banyak guru mengeluh bahwa anak jaman sekarang tidak menyukai pelajaran agama. Tanpa mempertimbangkan petode pembelajaran yang monoton dan tidak peduli dengan kebutuhan peserta didik, para guru benyak yang mempersoalkan jam pelajaran yang hanya dua jam dan pelajaran agama yang tidak lagi dianggap penting oleh sistem karena tidak diujikan dalam ujian nasional.

Dalam situasi ini para siswa yang kegelisahannya tidak terjawab dalam pelajaran agama, tentu saja mereka mencari di banyak sumber, diantara mereka ada yang berminat pada kelompok-kelompok kegiatan keagamaan di luar sekolah yang adakalanya mempunyai motivasi politik. Meski wacana keagamaan yang dikembangkan dalam kegiatan keagamaan di luar kelas pelajaran agama dan bermotif politik ini sering membingungkan generasi muda karena sangat puritan, tertutup dan wewenang penafsiran dan pengajarannya sangat hierarkis, tetapi karena metode dan pembawaan pengajarnya menarik, kegiatan ini berkembang dan jaringannya makin luas antar sekolah dan universitas.

Sesungguhnya kita mendapatkan gambaran bahwa pendidikan agama yang berlangsung ini tidak bisa memberi jaminan bahwa apa yang diharapkan oleh para pendukung pendidikan agama disekolah akan terpenuhi. Apalagi ketika pendidikan agama di sekolah umum pengelolaanya diserahkan pada sistem yang dari sisi paradigmatis mestinya sangat berbeda. Yang saya maksud perbedaan di sini adalah, misalnya dalam pelajaran IPA atau IPS titik tekanan pada aspek kogniti saja masih bisa atau dianggap memungkinkan. Tetapi untuk pelajaran agama yang dalam tujuannya adalah membentuk karakter atau ahlak, bagaimana mungkin terjadi ketika penekanan dalam pembelajaran hanya pada salah satu aspek dari kepribadian?

Maka sesungguhnya masalah pendidikan agama di sekolah terbelit dalam tiga level persoalan yang masing-masing mengandung kerumitan. Pertama pada level idiologi berbangsa dan bernegara yang masih menunggu evaluasi dari pengalaman hidup bersama yang membutuhkan waktu yang cukup untuk mendorong adanya kebulatan tekad mengambil sebuah idiologi yang jelas dan lugas yang menyokong kebersamaan yang multikultural.

Level kedua adalah pada sistem pendidikan yang dikelola oleh negara yang dalam kebijakannya sangat dipengaruhi situasi di level ketiga yaitu level kultural dan tekanan pasar. Pendidikan agama di sekolah menyesuaikan ketentuan sistem, hingga pada model evaluasi yang menggunakan angka-angka untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan. Siapa pun akan mudah tergelitik dengan model evaluasi ini untuk kasus pendidikan agama, tetapi bila sampai terfikir untuk diubah maka tidak bisa diubah sebagian. Belum lagi soal kesiapan guru untuk mengelola pembelajaran yang sungguh-sungguh berdampak dalam pembentukan karakter dan ahlak, diperlukan guru yang inspiratif dan kreatif.

Pada level kultural dimana terdapat saling kait urusan kesejahteraan, pendidikan, akses pada informasi dan pengalaman akan keragaman yang pada gilirannya mempengaruhi perkembangan wacana keagamaan dan pemikiran tentang pengelolaan perbedaan. Tidak bisa disangkal bahwa pada level ini prasangka antar kelompok agama dan keyakinan masih cukup kuat bahkan mempengaruhi kebijakan publik-keagamaan misalnya dalam soal pendirian rumah ibadah dan pengaturan tentang pendidikan agama di sekolah-sekolah yayasan keagamaan.

Bila pendidikan agama terbelit dalam tiga level ini maka untuk mengkaji dan mengurainya kiranya perlu mempertumbangkan tiga level persoalan ini.

Praktek Pendidikan Agama di Sekolah

Terdapat tiga karakter sekolah yang terkait dengan pendidikan agama di sekolah. Pertama sekolah negeri, kedua sekolah swasta umum non yayasan agama dan sekolah swasta yayasan agama dan sekolah calon ahli atau pimpinan agama seperti madrasah dan seminari. Varian karakter ini awalnya terbentuk karena perbedaan sumber pembiayaan, pengawasan dan otonomi sekolah, serta misi dan intervensi pada kurikulum. Dalam perkembangannya dinamika sekolah juga turut mempengaruhi karakter sekolah. Tiga karakter ini pada akhirnya juga terkait dengan persoalan multikulturalisme dalam masyarakat.

Pada sekolah negeri dan sekolah swasta umum non yayasan keagamaan, pada jam pelajaran agama siswa dipisah menurut agama yang berbeda-beda. Selama puluhan tahun praktek pendidikan agama di sekolah seperti ini belum ada yang memberikan perhatian secara serius bahwa pemisahan siswa pada jam pelajaran agama adalah sebuah pembiasaan dan penanaman kesadaran bahwa agama adalah sesuatu yang memisahkan (kebersamaan) manusia.

Pada tahun 2004 kami menyebar angket pada 958 anak SD kleas 4, 5 dan 6 di 11 SD di Kota Madya Jogjakarta, 896 siswa SMP pada 9 sekolah dan 983 siswa SMA di 11 sekolah. Salah satu data yang terkait dengan pemisahan siswa berdasarkan agama ini adalah dalam penjawab pertanyaan tenang kesan tentang agama lain, makin tinggi tingkat sekolahan, makin besar jumlah jawaban yang khawatir pada agama lain . Data kedua adalah data dari diskusi kelompok terfokus di SMP Negeri 8. Ketika dilempar pertanyaan tentang apakah seorang penganut suatu agama boleh mengerti agama yang dianut orang lain, peserta diskusi yang menjawab dengan santai bahwa tidak ada masalah seseorang penganut agama memahami agama orang lain dengan berbagai argumentasi pengalaman adalah siswa-siswa kelas 1, sedangkan siswa kelas 2 menolak dengan mengatakan hal itu tidak perlu , bagimu agamamu bagiku agamaku dan beberapa siswa kelas dua menolak dengan sangat emosional . Data ini menjadi bukti bahwa pemisahan kelas mempunyai pengaruh dalam kenyamanan berelasi.

Di kalangan peserta didik di sekolah Negeri pelajaran agama berlangsung lebih teratur dan siswa beragam agama hampir selalu mendapatkan guru pelajaran agama sesuai dengan keyakinan para siswa karena secara umum pemerintah mengusahakan guru agama bagi semua peserta didik. Sebagai milik pemerintah, semua aktifitas pembelajaran di sekolah negeri mengikuti secara penuh apa yang menjadi kebijakan pemerintah di bidang pendidikan.

Pada sekolah-sekolah yang menyiapkan peserta didiknya menjadi ahli agama atau pemimpin agama seperti di madrasah atau seminari, seluruh kegiatan pembelajaran umumnya benar-benar diarahkan untuk mendukung tujuan pendidikan yang ada. Sayangnya keseriusan pada satu bidang ini menyebabkan kecenderungan kurang terbuka bagi pergaulan yang lebih luas, yang dengan demikian membatasi pengalam dengan keragaman juga. Minimnya pengalaman akan keragaman perlu dikaji apakah ada kaitannya dengan sensitivitas pada yang berbeda. Sensitivitas pada yang berbeda hanya akan berkembang ketika ada pengalaman dengan yang berbeda dan menggerti adanya perspektif yang berbeda juga.

Di sekolah umum yayasan keagamaan di mana biaya operasional secara umum ditanggung oleh yayasan dan wali murid, terdapat kebijakan sekolah yang menunjukkan keunikan yayasan. Keunikan ini tampak dalam penerimaan guru, hingga tambahan pelajaran maupun kegiatan ekstrakurikuler yang mewadahi pemenuhan misi yayasan keagamaan melalui pendidikan. Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah lebih banyak pada soal jaminan kualitas pendidikan, tetapi umumnya tidak menyentuh pada soal keunikan sekolah yayasan keagamaan. Baru menjelang penetapan Undang-Undang no.20 tentang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, banyak sekolah di bawah yayasan keagamaan yang merasa otonominya diganggu terutama berkaitan dengan pasal 13 yang mewajibkan semua sekolah memberikan pelajaran agama yang sesuai dengan agama yang dianut oleh siswa. Hingga tahun 2009 ini banyak sekolah yayasan keagamaan yang tidak bisa memenuhi tuntutan pasal 13 UU no,20 tahun 2003 itu karena alasan teknis pembiayaan guru dan alasan lain adalah menolak pelanggaran otonomi yayasan yang merasa tidak memaksa siswa untuk masuk ke sekolah yang mempunyai keunikan tertentu.

Sekolah umum di bawah yayasan non keagamaan dan keagamaan mempunyai peluang yang lebih besar untuk membuat eksperimentasi pendidikan agama yang salah satunya bisa menjadi tanggapan atas masyarakat yang multikultural. Sebagai contoh adalah SMA BOPKRI 1 Jogjakarta yang tidak menggunakan cara pemisahan siswa pada jam pelajaran agama, karena di sekolah yang bernaung di bawah yayasan Kristen ini tidak memberikan pelajaran agama Kristen Protestan, tetapi yang diberlakukan adalah pelajaran Komunikasi Iman. Pada pelajaran ini siswa dari berbagai agama belajar bersama tentang tema-tema yang ditentukan bersama oleh para siswa. Metode active learning dan refleksi menjadikan siswa penganut suatu agama akan menjadi penanggung jawab tema yang sesuai dengan agamanya, yang terdorong mendalami agamanya teteapi pada saat yang sama bisa memahami agama lain.

Konsesuensi dari pendidikan komunikasi iman ini perlunya paradigma yang sangat berbeda. Hal yang saat ditemui dalam pembelajaran agama Islam yang diampu oleh Ibu Anis Farikhatin di SMA PIRI 1 Jogjakarta yang menggunakan metode active learning dan refleksi dalam mengangkat tema pengalaman hidup yang terkait dengan mata pelajaran yang diadaptasi dari kurikulum yang ada. Demi memenuhi kebutuhan belajar pada pengalaman dalam pelajaran agamanya, Bu Anis tidak segan mengundang guru agama Hindu, Budha atau Kristen ke kelasnya dan menjadikan kehadiran yang berbeda sebagai cara menghadirkan kenyataan hidup yang penuh keragaman.

Tanggapan Masyarakat atas kebijakan Pendidikan

Dalam kacamata multkulturalisme, kewajiban bagi setiap siswa untuk mengikuti salah satu dari lima macam pendidikan agama, bagi para penganut agama dan kepecayaan di luar agama resmi adalah memutus generasi penerus penganut agama dan kepercayaan tersebut. Dampak dari pendidikan agama yang dibatasi berdasarkan agama yang dianggap resmi oleh pemerintah ini terasa setelah beberapa generasi. Namun hingga saat ini belum ada pihak penganut agama yang termarjinalkan secara sistematis mempersoalkan pelajaran agama yang pada masa pemerintahan Soeharto menjadi salah satu syarat kenaikan kelas.

Namun ketika pelajaran agama tidak lagi menentukan kelulusan dan tidak menjadi mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional pun tidak ada tanggapan yang kontra.

Saat ini ketika generasi yang mengalami pendidikan agama yang memisahkan siswa karena berbeda agama telah menjadi dewasa, sekat antaranggita masyarakat pun makin terasa. Para orang tua yang tidak puas dengan pendidikan agama di sekolah yang dua jam mengirim anak-anaknya ke sekolah terpadu yang jam pelajaran agamanya jauh lebih banyak. Anak-anak makin berkurang pengalaman bermainnya dan berkurang juga kesempatan bertemu dan mengalami kebersamaan dengan orang-orang yang berbeda.

Sementara di sisi lain Pak Sartana guru agama yang membawakan pelajaran komunikasi iman mendapat sambutan dari para orang tua siswa karena telah menemani anak-anak mereka lebih masuk pada lika-liku kehidupan yang mendewasan bagi anak-anaknya. Meski model pembelajaran pada komunikasi Iman membingungkan bagi pengawas pendidikan, pemerintah tidak bisa menghentikan ekperimentasi yang dilakukan oleh Pak Sartana, terutama karena dukungan masyarakat.

sumber : google