Selasa, 11 Januari 2011

Tugas Pokok Pendidikan Keagamaan

Tidak mudah memang mengapresiasisasi kembali dan menegaskan nilai-nilai fundamental yang diperlukan untuk kehidupan bersama antar berbagai umat beragama (juga antar etnis, budaya, ras dan kelompok). Menurut Amin Abdullah ada 3 (tiga) himpitan “identitas” yang sama-sama fundamental, yang sama-sama menggoda, yang sama-sama hendak dipertahankan oleh manusia baik sebagai pribadi maupun kelompok. Pertama adalah peneguhan identitas yang bersumber dari tuntutan loyalitas pada hubungan seseorang atau kelompok kepada Tuhan (the identity generated by one’s relation to God) yang dikonsolidasikan dan dikristalkan lewat sistem politik-keagamaan dan kedua, identitas yang bersumber pada pengalaman riil seseorang atau kelompok untuk memenuhi tuntutan loyalitas kepada kelompoknya sendiri. Kedua tuntutan peneguhan identitas seringkali berbenturan dan sulit dicari konsensus. Belum lagi, bagaimana seseorang dan lebih-lebih kelompok memenuhi tuntutan loyalitas kepada keduanya, namun pada saat yang sama seseorang atau kelompok harus pula mampu mensupport identitas ketiga, yakni mendukung nilai-nilai yang diperlukan untuk keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengatasi kedua loyalitas sebelumnya.[1]

Tugas pokok pendidikan keagamaan –seperti madrasah misalnya- adalah untuk melakukan pembaharuan dan penyegaran dari ”dalam” intern masing-masing kelompok pemeluk agama-agama itu sendiri. Kekuatan penggerak dari pendorong untuk melakukan pembaharuan dan penyegaran sebenarnya terletak dan terinspirasikan dari pengalaman pokok dari setiap kelompok agama yakni, Ajaran Sang Budha bagi para pemeluk agama Budha, Taurat bagi pemeluk Yahudi, Jalan Yesus bagi orang-orang Kristen dan Pesan Perdamaian dari al-Qur’an bagi pemeluk agama Islam. Demikian pula halnya yang terkait keragaman budaya dan etnisitas.

Sangatlah penting bagi pendidikan keagamaan (Religious Education) untuk berasumsi bahwa tugas internalnya adalah untuk memperkenalkan ”sistem tanggungjawab bersama” (system of responsibility) kepada generasi muda sesuai dengan panduan ajaran agama masing-masing. Ketika para pemeluk agama-agama mengenal dengan baik akar-akar fundamental kepercayaannya dan ketika mereka mengenal dengan baik akar-akar kebudayaan dan agamanya sendiri, maka mereka sesungguhnya telah membekali diri landasan dasar untuk dapat melakukan dialog (perjumpaan, perkenalan, perbincangan) dengan sungguh-sungguh dengan masyarakat atau komunitas lain, juga sistem budaya dan tata nilai di luar diri dan kelompoknya.[2]

Semua jenis pendidikan keagamaan (religious education) seharusnya dibekali dengan cara metode dan jalan baru yang lebih menekankan pada ”penghormatan”, dan ”penghargaan” kepada masyarakat dan pemeluk agama lain serta mengenal tata cara hidup dan nilai-nilai yang mereka jadikan sebagai panduan kehidupannya. Generasi muda hendaknya dipersiapkan untuk selalu siap hidup bersama orang, kelompok atau masyarakat pemeluk agama lain tanpa terlalu dibebani oleh beban-beban psikologis dan hambatan-hambatan sosial-kultural yang bersumber dari sikap buruk sangka (prejudice), tetapi lebih diarahkan pada kemampuan untuk mendengar dan saling belajar dari orang atau kelompok lain. Cara demikian akan membuka cara berpikir baru dan cara melihat persoalan kehidupan bersama dengan pandangan yang lebih segar dan terbuka.

Dialog antar iman atau antar kepercayaan hanya dapat menumbuhkan rasa ”saling percaya” (trust) jika para peserta dan patner dialog dapat memahami bahwa mereka tidak sedang dipaksa masuk dalam skenario dogmatik yang tidak saling terhubung antara satu kepercayaan dan lainnya. Ini berarti bahwa patner dialog harus mencoba belajar memahami berbagai jenis dan macam kepercayaan/iman dari sudut pandang orang yang memiliki kepercayaan itu sendiri dan secara empatik dan simpatik bersedia meneliti tradisi-tradisi keagamaan dan tulisan-tulisan yang dimiliki oleh teman partner dialog. Mereka secara bersama-sama harus menghormati dan menghargai perbedaan yang memang ada diantara mereka dan mencoba memahami alasan dan argumen mengapa ada perbedaan di antara mereka.

Selain itu pula harus disadari bahwa terkadang dimensi keagamaan atau religiosity dalam pendidikan seringkali di marginalkan dan diabaikan oleh para pendidik. Pendidikan umum, pendidikan tehnik, pendidikan humaniora, pendidikan sosial, pendidikan keterampilan, pendidikan biologi, matematika, kimia, fisika seringkali tidak peduli terhadap hal-hal yang terkait dengan isu keagamaan, karena “agama” dianggap berada di luar wilayah mereka. Bahkan ironisnya pendidikan agama yang diselenggarakan oleh kelompok agama “tertentu” (Particular religion) seringkali juga memarginalkan – untuk tidak menyebutnya “meremehkan” – realitas konkrit keberagamaan (Fundamental religiosity) yang dimiliki oleh kelompok lain, yang tidak seagama.

Fundamental religiosity ini seringkali diabaikan hanya semata-mata karena “mereka” berbeda agama dari agama yang kita miliki. Para pendidik lupa bahwa anak-anak dan generasi muda seharusnya dibekali, dilengkapi dan diberi “etos”, “nilai”, “keyakinan”, “kebutuhan” untuk hidup bersama (to live together) orang atau kelompok lain, dan diajari bagaimana menghormati teman sejawat manusia sebagai manusia, dilatih untuk mempunyai rasa tanggungjawab terhadap seluruh ciptaan yang hidup dan bernyawa, dilatih bagaimana mereka nantinya peka dan cepat tanggap terhadap hal-hal yang mengarah kepada kebencian, kekerasan dan seluruh perkembangan baru dan kecenderungan dalam kehidupan manusia yang mengancam kehidupan bersama.

Kemudian berikutnya jaringan kerjasama sosial dan sumber-sumber pendidikan yang sangat luas yang dimiliki oleh masyarakat agama dan budaya di Indonesia (dan juga masyarakat dunia) perlu dimobilisir untuk mempromosikan dan melipatgandakan upaya-upaya untuk pendidikan perdamaian. Masing-masing komunitas agama dan budaya secara sendiri-sendiri dapat mengambil inisiatif untuk mereview dan memperbaharui kembali pedoman umum (guideline), silabus, buku-buku teks dan bahan-bahan ajar yang lain, khususnya yang terkait langsung dengan bagaimana mereka menghadirkan, menjelaskan, menggambarkan, melukiskan, menerangkan tentang agama-agama yang dianut orang atau kelompok lain dan pandangan hidup (world views) mereka yang berbeda dari yang kita miliki.

Masyarakat beragama dapat mendorong terus dan mendukung diadakannya kontak dan kerjasama diantara para teolog (ahli-ahli agama), guru-guru agama dari berbagai kepercayaan dan keimanan serta kebudayaan yang berbeda serta secara terus menerus memperbaiki dan menyempurnakan sistem pelatihan dan pembelajaran calon-calon pendidik dan pengajar agama, para calon pimpinan agama (Klergi, ulama, kyai, da’i, missionaris, pekerja sosial, pimpinan organisasi) dalam hal yang terkait dengan “pengetahuan“ mereka tentang pandangan hidup (world views) dan sistem kepercayaan yang dianut oleh pemeluk lain, diluar agama yang dipeluknya sendiri.

Bagi negara-negara yang tidak memasukkan pengetahuan tentang agama-agama dunia (world religions) sebagai bagian dari silabi sistem pendidikan mereka dianjurkan untuk mengupayakan adanya wadah atau formula yang dapat memasukkan pengetahuan tentang agama-agama dunia dalam bagian kurikulum yang lebih luas sebagai subyek yang terpisah. Ceramah umum, penerjemahan buku, stadium general, diskusi, temu tokoh, bedah buku, seminar dapat dijadikan wadah atau ajang untuk memperkenalkan tradisi dan agama yang dimiliki oleh orang atau kelompok lain dibawah panduan pimpinan sekolah atau program studi.

Untuk mencapai perdamaian dunia bersama-sama dengan para ahli dari pemeluk agama lain, masyarakat beriman (beragama) dapat merancang metodologi khusus untuk para guru dan calon guru (dosen) dan juga untuk para pelajar (mahasiswa), untuk secara empati mampu meletakkan dirinya dalam tempat orang lain, melatih merasakan dirinya seperti yang dirasakan oleh orang lain. Berlatih bersama dengan sungguh-sungguh untuk dapat memahami persoalan-persoalan penting yang sepertinya tidak begitu dikenal oleh pengikut agama lain, untuk bergumul menyelesaikan dan mencari jalan keluar dari kerapuhan umat kemanusiaan yang sangat dirasakan oleh masing-masing pengikut agama, untuk menjawab persoalan-persoalan krusial yang dilontarkan oleh para pengamat dan orang-orang diluar diri kita.

sumber : google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar