Selasa, 11 Januari 2011

Pendidikan Agama dalam Masyarakat Multikultur

Salah satu keunikan masyarakat Indonesia adalah keterikatannya pada simbol-simbol agama dan pada keyakinannya akan fungsi sosial agama dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan memberi rasa aman oleh kepastian dalam membuat pemaknaan atas peristiwa-peristiwa kehidupan bagi pemeluknya secara eksklusif. Keunikan ini sangat kentara ketika selalu ada kelompok dalam masyarakat yang senantiasa memberikan posisi bagi agama dalam ruang publik yang seharusnya dikonstruksi menjamin keleluasaan yang terbuka bagi semua ekspresi dan pemaknaannya.

Pendidikan agama yang masuk dalam ruang sekolah salah satu contoh kuatnya agama dalam mengambil posisi dalam ruang publik masyarakat Indonesia. Pendidikan agama dalam ruang -publik sekolah resmi hadir sejak 29 Desember 1945, ketika Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan membentuk Panitia Penyelidik Pendidikan yang berhasil merumuskan sistem dan kurikulum pendidikan Sekolah Menegah Pertama yang menggantikan Sekolah Menengah yang diciptakan Jepang. Pada masa itu pendidikan agama telah masuk dalam kurikulum SMP meskipun sebelumnya Ki Hajar Dewantara sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan telah menyampaikan sikapnya yang sangat pesimis dengan mengatakan,”agama dalam pengajaran di sekolah adalah soal lama dan terus-menerus menjadi persoalan yang sulit”. Kesulitan ini terutama karena bagi Ki Hajar “ada tuntutan supaya sifat keagamaan tadi diberi bentuk yaitu ‘pengajaran agama’, yang mana hakikat syariat agama diberi bentuk yang pasti dan tertentu” .

Faktor keyakinan masyarakat akan kekuatan agama dalam fungsi sosial yang antara lain didesakkan melalui tuntutan akan pendidikan agama di sekolah tidak saja didesakkan oleh kelompok penganut agama. Dalam perkembangannya, pendidikan agama di ruang sekolah juga dimaknai sebagai pendidikan untuk menghalau ‘pengaruh komunis’, ketika rezim Soeharto secara sistematis menggiring warganegara menggunakan ‘stempel’ agama yang dibatasi lima macam agama. Demikian hingga kini pendidikan agama turut mewarnai format hubungan agama dan negara yang masih dalam proses pencarian model yang paling mewadahi aspirasi masyarakat sekaligus diharapkan bisa mendukung pendewasaan dalam berbangsa dan bernegara.

Persoalannya, ketika pendidikan agama yang masing-masing sudah ‘tertentu’ harus masuk dalam ruang sekolah umum, pendidikan agama seperti apa yang bisa memungkinkan untuk mendukung peningkatan kesanggupan mengelola keragaman sebagaimana dibutuhkan dalam proses pendewasaan berbangsa dan bernegara?

Sudut Pandang dan Level Persoalan

Mengkaji masalah pendidikan agama dalam masyarakat multikultur, hal yang penting dilakukan adalah melihat masalah dari beragam sudut pandang. Satu sisi tidak bisa diabaikan adanya kelompok masyarakat yang senantiasa membutuhkan pegangan dalam ketidakpastian hidup yang mereka andaikan bisa terjawab oleh agama. Pengajaran agama oleh kelompok masyakat ini diyakini sebagai cara yang penting untuk membekali generasi muda dengan model hidup yang aman berdasarkan ajaran agama yang dianggap benar secara absolut.

Di sisi lain wacana keagamaan yang direproduksi dalam ruang-ruang kelas bagi generasi muda-peserta didik seringkali dirasa membosankan, karena hanya berisi hal-hal yang sudah tertentu dan pasti yang kadang harus dihafal, tetapi tidak menyentuh kegelisahan mereka sehari-hari. Wacana keagamaan yang mengandung pengandaian bahwa masyarakat adalah monokultur juga menghasilkan sikap yang gamang, ambigu bahkan tidak toleran dalam menghadapi perbedaan.

Para guru agama yang penuh dedikasi kebanyakan berfikir dan berbicara dengan referensi dunianya dan para siswa sudah mempunyai referensi pengalaman hidup yang berbeda. Ada sedikit guru agama yang mau berdialog dalam perbedaan dunia mereka dan dunia generasi muda, tetapi lebih banyak yang secara tidak sadar, guru agama -sebagaimana guru-guru pada umumnya–menempatkan diri sebagai penguasa kelas yang menganggap diri mempunyai otoritas penuh atas kebenaran yang senantiasa dibawakan dengan metode yang monoton.
Dalam pendidikan agama di sekolah sering terjadi kebuntuan komunikasi antara guru dan peserta didiknya. Mulai banyak guru mengeluh bahwa anak jaman sekarang tidak menyukai pelajaran agama. Tanpa mempertimbangkan petode pembelajaran yang monoton dan tidak peduli dengan kebutuhan peserta didik, para guru benyak yang mempersoalkan jam pelajaran yang hanya dua jam dan pelajaran agama yang tidak lagi dianggap penting oleh sistem karena tidak diujikan dalam ujian nasional.

Dalam situasi ini para siswa yang kegelisahannya tidak terjawab dalam pelajaran agama, tentu saja mereka mencari di banyak sumber, diantara mereka ada yang berminat pada kelompok-kelompok kegiatan keagamaan di luar sekolah yang adakalanya mempunyai motivasi politik. Meski wacana keagamaan yang dikembangkan dalam kegiatan keagamaan di luar kelas pelajaran agama dan bermotif politik ini sering membingungkan generasi muda karena sangat puritan, tertutup dan wewenang penafsiran dan pengajarannya sangat hierarkis, tetapi karena metode dan pembawaan pengajarnya menarik, kegiatan ini berkembang dan jaringannya makin luas antar sekolah dan universitas.

Sesungguhnya kita mendapatkan gambaran bahwa pendidikan agama yang berlangsung ini tidak bisa memberi jaminan bahwa apa yang diharapkan oleh para pendukung pendidikan agama disekolah akan terpenuhi. Apalagi ketika pendidikan agama di sekolah umum pengelolaanya diserahkan pada sistem yang dari sisi paradigmatis mestinya sangat berbeda. Yang saya maksud perbedaan di sini adalah, misalnya dalam pelajaran IPA atau IPS titik tekanan pada aspek kogniti saja masih bisa atau dianggap memungkinkan. Tetapi untuk pelajaran agama yang dalam tujuannya adalah membentuk karakter atau ahlak, bagaimana mungkin terjadi ketika penekanan dalam pembelajaran hanya pada salah satu aspek dari kepribadian?

Maka sesungguhnya masalah pendidikan agama di sekolah terbelit dalam tiga level persoalan yang masing-masing mengandung kerumitan. Pertama pada level idiologi berbangsa dan bernegara yang masih menunggu evaluasi dari pengalaman hidup bersama yang membutuhkan waktu yang cukup untuk mendorong adanya kebulatan tekad mengambil sebuah idiologi yang jelas dan lugas yang menyokong kebersamaan yang multikultural.

Level kedua adalah pada sistem pendidikan yang dikelola oleh negara yang dalam kebijakannya sangat dipengaruhi situasi di level ketiga yaitu level kultural dan tekanan pasar. Pendidikan agama di sekolah menyesuaikan ketentuan sistem, hingga pada model evaluasi yang menggunakan angka-angka untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan. Siapa pun akan mudah tergelitik dengan model evaluasi ini untuk kasus pendidikan agama, tetapi bila sampai terfikir untuk diubah maka tidak bisa diubah sebagian. Belum lagi soal kesiapan guru untuk mengelola pembelajaran yang sungguh-sungguh berdampak dalam pembentukan karakter dan ahlak, diperlukan guru yang inspiratif dan kreatif.

Pada level kultural dimana terdapat saling kait urusan kesejahteraan, pendidikan, akses pada informasi dan pengalaman akan keragaman yang pada gilirannya mempengaruhi perkembangan wacana keagamaan dan pemikiran tentang pengelolaan perbedaan. Tidak bisa disangkal bahwa pada level ini prasangka antar kelompok agama dan keyakinan masih cukup kuat bahkan mempengaruhi kebijakan publik-keagamaan misalnya dalam soal pendirian rumah ibadah dan pengaturan tentang pendidikan agama di sekolah-sekolah yayasan keagamaan.

Bila pendidikan agama terbelit dalam tiga level ini maka untuk mengkaji dan mengurainya kiranya perlu mempertumbangkan tiga level persoalan ini.

Praktek Pendidikan Agama di Sekolah

Terdapat tiga karakter sekolah yang terkait dengan pendidikan agama di sekolah. Pertama sekolah negeri, kedua sekolah swasta umum non yayasan agama dan sekolah swasta yayasan agama dan sekolah calon ahli atau pimpinan agama seperti madrasah dan seminari. Varian karakter ini awalnya terbentuk karena perbedaan sumber pembiayaan, pengawasan dan otonomi sekolah, serta misi dan intervensi pada kurikulum. Dalam perkembangannya dinamika sekolah juga turut mempengaruhi karakter sekolah. Tiga karakter ini pada akhirnya juga terkait dengan persoalan multikulturalisme dalam masyarakat.

Pada sekolah negeri dan sekolah swasta umum non yayasan keagamaan, pada jam pelajaran agama siswa dipisah menurut agama yang berbeda-beda. Selama puluhan tahun praktek pendidikan agama di sekolah seperti ini belum ada yang memberikan perhatian secara serius bahwa pemisahan siswa pada jam pelajaran agama adalah sebuah pembiasaan dan penanaman kesadaran bahwa agama adalah sesuatu yang memisahkan (kebersamaan) manusia.

Pada tahun 2004 kami menyebar angket pada 958 anak SD kleas 4, 5 dan 6 di 11 SD di Kota Madya Jogjakarta, 896 siswa SMP pada 9 sekolah dan 983 siswa SMA di 11 sekolah. Salah satu data yang terkait dengan pemisahan siswa berdasarkan agama ini adalah dalam penjawab pertanyaan tenang kesan tentang agama lain, makin tinggi tingkat sekolahan, makin besar jumlah jawaban yang khawatir pada agama lain . Data kedua adalah data dari diskusi kelompok terfokus di SMP Negeri 8. Ketika dilempar pertanyaan tentang apakah seorang penganut suatu agama boleh mengerti agama yang dianut orang lain, peserta diskusi yang menjawab dengan santai bahwa tidak ada masalah seseorang penganut agama memahami agama orang lain dengan berbagai argumentasi pengalaman adalah siswa-siswa kelas 1, sedangkan siswa kelas 2 menolak dengan mengatakan hal itu tidak perlu , bagimu agamamu bagiku agamaku dan beberapa siswa kelas dua menolak dengan sangat emosional . Data ini menjadi bukti bahwa pemisahan kelas mempunyai pengaruh dalam kenyamanan berelasi.

Di kalangan peserta didik di sekolah Negeri pelajaran agama berlangsung lebih teratur dan siswa beragam agama hampir selalu mendapatkan guru pelajaran agama sesuai dengan keyakinan para siswa karena secara umum pemerintah mengusahakan guru agama bagi semua peserta didik. Sebagai milik pemerintah, semua aktifitas pembelajaran di sekolah negeri mengikuti secara penuh apa yang menjadi kebijakan pemerintah di bidang pendidikan.

Pada sekolah-sekolah yang menyiapkan peserta didiknya menjadi ahli agama atau pemimpin agama seperti di madrasah atau seminari, seluruh kegiatan pembelajaran umumnya benar-benar diarahkan untuk mendukung tujuan pendidikan yang ada. Sayangnya keseriusan pada satu bidang ini menyebabkan kecenderungan kurang terbuka bagi pergaulan yang lebih luas, yang dengan demikian membatasi pengalam dengan keragaman juga. Minimnya pengalaman akan keragaman perlu dikaji apakah ada kaitannya dengan sensitivitas pada yang berbeda. Sensitivitas pada yang berbeda hanya akan berkembang ketika ada pengalaman dengan yang berbeda dan menggerti adanya perspektif yang berbeda juga.

Di sekolah umum yayasan keagamaan di mana biaya operasional secara umum ditanggung oleh yayasan dan wali murid, terdapat kebijakan sekolah yang menunjukkan keunikan yayasan. Keunikan ini tampak dalam penerimaan guru, hingga tambahan pelajaran maupun kegiatan ekstrakurikuler yang mewadahi pemenuhan misi yayasan keagamaan melalui pendidikan. Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah lebih banyak pada soal jaminan kualitas pendidikan, tetapi umumnya tidak menyentuh pada soal keunikan sekolah yayasan keagamaan. Baru menjelang penetapan Undang-Undang no.20 tentang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, banyak sekolah di bawah yayasan keagamaan yang merasa otonominya diganggu terutama berkaitan dengan pasal 13 yang mewajibkan semua sekolah memberikan pelajaran agama yang sesuai dengan agama yang dianut oleh siswa. Hingga tahun 2009 ini banyak sekolah yayasan keagamaan yang tidak bisa memenuhi tuntutan pasal 13 UU no,20 tahun 2003 itu karena alasan teknis pembiayaan guru dan alasan lain adalah menolak pelanggaran otonomi yayasan yang merasa tidak memaksa siswa untuk masuk ke sekolah yang mempunyai keunikan tertentu.

Sekolah umum di bawah yayasan non keagamaan dan keagamaan mempunyai peluang yang lebih besar untuk membuat eksperimentasi pendidikan agama yang salah satunya bisa menjadi tanggapan atas masyarakat yang multikultural. Sebagai contoh adalah SMA BOPKRI 1 Jogjakarta yang tidak menggunakan cara pemisahan siswa pada jam pelajaran agama, karena di sekolah yang bernaung di bawah yayasan Kristen ini tidak memberikan pelajaran agama Kristen Protestan, tetapi yang diberlakukan adalah pelajaran Komunikasi Iman. Pada pelajaran ini siswa dari berbagai agama belajar bersama tentang tema-tema yang ditentukan bersama oleh para siswa. Metode active learning dan refleksi menjadikan siswa penganut suatu agama akan menjadi penanggung jawab tema yang sesuai dengan agamanya, yang terdorong mendalami agamanya teteapi pada saat yang sama bisa memahami agama lain.

Konsesuensi dari pendidikan komunikasi iman ini perlunya paradigma yang sangat berbeda. Hal yang saat ditemui dalam pembelajaran agama Islam yang diampu oleh Ibu Anis Farikhatin di SMA PIRI 1 Jogjakarta yang menggunakan metode active learning dan refleksi dalam mengangkat tema pengalaman hidup yang terkait dengan mata pelajaran yang diadaptasi dari kurikulum yang ada. Demi memenuhi kebutuhan belajar pada pengalaman dalam pelajaran agamanya, Bu Anis tidak segan mengundang guru agama Hindu, Budha atau Kristen ke kelasnya dan menjadikan kehadiran yang berbeda sebagai cara menghadirkan kenyataan hidup yang penuh keragaman.

Tanggapan Masyarakat atas kebijakan Pendidikan

Dalam kacamata multkulturalisme, kewajiban bagi setiap siswa untuk mengikuti salah satu dari lima macam pendidikan agama, bagi para penganut agama dan kepecayaan di luar agama resmi adalah memutus generasi penerus penganut agama dan kepercayaan tersebut. Dampak dari pendidikan agama yang dibatasi berdasarkan agama yang dianggap resmi oleh pemerintah ini terasa setelah beberapa generasi. Namun hingga saat ini belum ada pihak penganut agama yang termarjinalkan secara sistematis mempersoalkan pelajaran agama yang pada masa pemerintahan Soeharto menjadi salah satu syarat kenaikan kelas.

Namun ketika pelajaran agama tidak lagi menentukan kelulusan dan tidak menjadi mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional pun tidak ada tanggapan yang kontra.

Saat ini ketika generasi yang mengalami pendidikan agama yang memisahkan siswa karena berbeda agama telah menjadi dewasa, sekat antaranggita masyarakat pun makin terasa. Para orang tua yang tidak puas dengan pendidikan agama di sekolah yang dua jam mengirim anak-anaknya ke sekolah terpadu yang jam pelajaran agamanya jauh lebih banyak. Anak-anak makin berkurang pengalaman bermainnya dan berkurang juga kesempatan bertemu dan mengalami kebersamaan dengan orang-orang yang berbeda.

Sementara di sisi lain Pak Sartana guru agama yang membawakan pelajaran komunikasi iman mendapat sambutan dari para orang tua siswa karena telah menemani anak-anak mereka lebih masuk pada lika-liku kehidupan yang mendewasan bagi anak-anaknya. Meski model pembelajaran pada komunikasi Iman membingungkan bagi pengawas pendidikan, pemerintah tidak bisa menghentikan ekperimentasi yang dilakukan oleh Pak Sartana, terutama karena dukungan masyarakat.

sumber : google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar